Membaca ayat-ayat Alquran yang sering dijadikan sebagai dasar jihad oleh kaum Islam Teroris, dan melihat sikap umat Islam Fundamentalis yang intoleran dan anarkis, sebagian pihak berangan-angan agar Islam dibumihanguskan, demi terciptanya cita rasa humanisme yang non sektarian dalam kehidupan sosial.
Bagi saya impian itu hanya sebuah utopia. Karena meminjam analisis Peter L Begger, semakin maju peradaban dunia, justru sebaliknya gejala Fundamentalisme agama juga semakin tajam. Berger menyimpulkan bahwa fundamentalisme adalah saudara kembar modernisme. Seakan-akan dia ingin berkata, bahwa tanpa fundamentalisme, modernisme itu menjadi tidak mungkin. Keduanya adalah sayap kiri dan sayap kanan dalam evolusi kebudayaan.
Dan tesis Berger, memang terbukti dalam kenyataan. Setidaknya hingga hari ini.
Pandangan dan teknologi mutakhir apa yang tidak menjulang pada Abad ini? Pada kebudayaan kontemporer hari ini? Tapi gejala fundamentalisme agama (Islam), juga tak penah padam. Kenapa?
Secara psikologis, mereka justru merasa semakin terdesak. Gempuran kebudayaan Barat Modern yang dalam imajinasi mereka begitu mengancam, telah memaksa otot-otot mekanisme pertahanan dirinya mengencang. Hingga berujung pada aksi perlawanan. Dan itulah yang terlihat di medan sosial. Muncul para aktivis dan gerakan-gerakan purifikasi Islam. Secara wacana mereka berusaha merebut dan menguasai wacana publik bahwa Islam adalah solusi dari kekacauan hidup dari segala lini. Dan secara aksi, mereka sibuk membatasi dan merongrong berbagai aktivitas sosial. Sebutlah misalnya praktik-praktik bisnis perjudian, pelacuran dan kehidupan bebas tanpa sandaran nilai-nilai Keislaman yang mereka yakini.
Menurut saya yang terpenting adalah cuci otak.
Membakar cara berpikir. Menjungkirbalikan paradigmanya.
Bahwa Islam bukanlah sebuah obat mujarab dalam hidup.
Tapi adalah salah satu alternatif pilihan pribadi yang bersifat psiklogis.
Bukan solusi praktis empirik. Sehingga sikap intoleran, sikap merasa benar sendiri dan reaktif menjadi tidak ada gunanya dalam kehidupan sosial.
Menurut saya membangun kesadaran atau paradigma berpikir tidak bisa dilakukan dengan gerakan. Tapi adalah dengan studi. Dengan membentuk iklim dialogis. Melalui diskusi. Melalui sharing komunitas. Semakin banyak ruang-ruang dialog, wadah-wadah diskusi, maka cara berpikir yang “Islam sentris” itu juga akan bisa ditendang sedikit demi sedikit dari waktu ke waktu.
Mengharap perubahan yang revolusioner pada cara berpikir, bagi saya hanya bualan dan angan-angan yang tidak realistis. Karena soal kesadaran, soal paradigma berpikir, bukan seperti menukar sepatu lama dengan sepatu baru. Tapi adalah mirip dengan mencongkel lapisan bebatuan yang sudah mengeras. Meminjam istilah Foucalt, merubah paradigma berpikir umat Islam Fundamentalis, mirip dengan kegiatan menambang lapisan geologis. Yang akan dibongkar, adalah lapisan bawah tanah. Endapan keyakinan yang sudah mengeras di lapisan alam bawah sadar, yang sudah menjadi darah dagingnya. Yang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Yang sudah refleks emosional. Itu sebabnya, asal Islam dikritik, telinga umat Islam langsung memerah, jenggor terbakar, nafas berpacu dan seruan Allahu Akbar langsung berkumandang.
No comments:
Post a Comment