Showing posts with label Ajaran Saraf. Show all posts
Showing posts with label Ajaran Saraf. Show all posts

Sunday, 7 April 2013

Saya Sudah Bertobat Dari Agama

Setelah bertahun-tahun saya tidur dibawah kolong agama,
Akhirnya saya sadar.
Ternyata saya tidak menemukan apa-apa.
Selain hanya menghafal kitab suci.
Mengulang-ulang kata-kata orang suci
Mengaminkan kata-kata para pemuka agama serta tim marketingnya

 
Seringkali saya dhujani ucapan pamungkas:“Kenalilah dirimu, maka kamu akan kenal Tuhanmu”

Tapi yang saya temukan,
Saya kehilangan siapa diri saya.
Yang saya lakukan,
Hanya memulung warisan dari masa kemasa
Menyemir mitos dan tahyul tua di lemari perpustakaan
Dan memproklamirkannya kemana-mana, seakan saya berkata:
“Lihat. Inilah saya. Orang beriman yang dekat dengan Tuhan.”

Tapi kini,
Saya sudah tobat.

Matahari mulai meluncur ke pembaringan
Dan kulihat Purnama sudah tersenyum


Maha Benar Engkau Rembulan
CahayaMu menembus waktu dan zaman.
Aku telah membuang selain Engkau
Dan saksikanlah Semesta Alam



Bedanya Taat Beragama Dan Memahami Agama

Secara sederhana taat biasanya dikonotasikan sebagai rajin melaksanakan ritual keagamaan. Misalnya seorang muslim rajin melakukan sholat, berdoa, puasa, zakat dan seterusnya. Begitu juga dengan rajin membaca Alquran. Dan hal-hal yang besifat seremonial keagamaan lainnya dalam agama Islam.

Semua itu merupakan tindakan lahiriyah. Dan untuk bisa menjadi taat ini dibutuhkan kemauan dan tekad untuk tidak pernah alfa dalam melakukannya. Dan bisanya taat ini dilatihkan oleh lingkungan kegamaan seseorang, misalnya oleh orang tua, guru agama dan sejenisnya. Soal apakah tindakan itu disertai dengan sikap dan penghayatan bathin sudah diluar konteks konotasi taat. Karena sikap bathin seseorang tidak ada yang tahu. Dan tidak ada alat ukur yang bisa menjamahnya.

Sedangkan memahami lebih berkonotasi pada pengetahuan. Pada penalaran. Pada wawasan seseorang terhadap agama Islam. Atau dalam istilah lain, memahami lebih berkonotsi pada sisi intelektualitas seseorang. Yang dibutuhkan disini adalah sisi pengetahuan dan penalaran. Bukan lagi dalam bentuk tindakan melakukan ritual keagamaan. Karena yang dibutuhkan adalah kapasitas intelektual, maka untuk memahami Islam tidak harus seseorang memeluk atau meyakini Islam agar dia bisa memahami Islam. Itu sebabnya bisa terjadi seorang Islamis atau Orientalis bisa lebih memahami Islam dari pada umat Islam sendiri.

Sebutlah misalnya tentang sejarah Islam.
Seorang yang begitu rajin melaksanakan sholat dan puasa, bisa jadi sangat awam dengan sejarah di seputar Alquran. Akan tetapi seorang yang jarang sholat, bahkan non muslim sekalipun, bisa menjadi seorang sejarawan Alquran. Karena yang dibutuhkan untuk menjadi ahli sejarah Alquran bukan sholat atau puasa. Tetapi adalah menguasai literatur dan perangkat metodologis untuk melakukan penelitian sejarah. Begitu juga dalam bidang-bidang keislaman lainnya seperti pada Filsafat, Ilmu Kalam, Tasauf, Fiqh dan sebagainya.

Itu sebabnya seorang yang taat beragama bukan identik bahwa dia sekaligus juga memiliki pemahaman akan agama Islam. Begitu juga sebaliknya, seorang yang begitu paham dan sangat berawawasan terhadap Islam, belum tentu juga taat dalam melaksanakan ritual keagamaan. Walaupun juga ada yang memiliki keduanya. Dengan kata lain, keduanya memiliki pendekatan yang berbeda. Taat mesti didekati dengan tindakan fisik. Sedangkan memahami lebih merupakan aktifitas intelektual.




Tuesday, 24 July 2012

Fatwa Larangan Untuk Berpuasa

Fatwa ini disampaikan oleh Majelis Ulama Belajar Saraf :

BAHWA
Jika anda masih marah melihat saya makan didekat anda.
Jika anda masih mengumpat kenapa saya dengan cuek merokok didepan anda.
Jika anda membenci saya yang tidak simpati pada gembar gembor Ramadhan.
Jika anda kesal dan ingin Tuhan mencelakakan hidup saya karena tidak puasa.

MAKA
Berhentilah anda untuk berpuasa.
Berhentilah anda menahan haus dan lapar.
Berhentilah menyiksa diri anda dengan menahan ini dan itu.
Dan marilah kita nonton video porno sama-sama.

Kenapa?
Karena anda sebenarnya tidak ingin puasa.
Tapi hanya ingin tampak sebagai orang baik-baik
Ingin menunjukkan pada dunia bahwa anda taat dan beriman.

Itulah jenis puasa omong kosong!



Kenapa Saya Tidak Perlu Puasa Ramadhan ?

Sudah sejak kecil saya diberi tahu bahwa puasa Ramadhan adalah untuk Tuhan. Dan Tuhanlah yang akan langsung memberikan nilai pahalanya. Dan berbagai kemudahan, diberikan Tuhan selama bulan Ramadhan. Mulai dari semua pintu sorga dibuka, pintu neraka ditutup, setan dibelenggu, segala kebaikan dicatat sekian kali lipat dan segala keburukan tidak dicatat malaikat. Dan masih banyak kemudahan lainnya.

Tapi meski begitu agung dan indahnya kemudahan yang diberikan Tuhan pada bulan Ramadhan, namun siapa yang tidak melakukannya maka dia akan berdosa. Apa sebabnya? Karena puasa adalah rukun Islam yang ketiga. Wajib hukumnya. Meninggalkannya berarti tidak lagi menjadi Islam secara syariat.

Semua itu saya amini dengan perasaan tunduk takjub. Tapi sekarang setelah saya tersesat, saya menjadi bosan mendengarnya. Kenapa?

Karena obral Tuhan terlalu kampungan, hanya cocok untuk anak-anak. Kenapa? Karena tak ada pesan mendidik dalam semua itu. Kecuali hanya memupuk mentalitas pamrih. Pamrih sosial dan pamrih pada Tuhan imajiner.

Jika semua itu disebut firman Tuhan, pertanyaan pertama saya adalah benarkah itu kata Tuhan? Jika dijawab iya, maka saya tidak percaya dengan Tuhan yang suka obral dan mengancam seperti itu. Tapi jika dijawab tidak, maka pertanyaan saya adalah, siapa penipu sejarahnya? Hingga dunia tertidur lelap dalam kebodohan yang panjang? Yang mereka sebut semua itu dengan iman?

Saya bukan anti puasa. Bahkan sangat memuji puasa. Karena secara kesehatan, terbukti puasa sangat bagus untuk organ-organ mekanisme tubuh. Dan secara psikologis, puasa juga bagus untuk menempa stabilitas emosional. Tapi semua ini bagi saya adalah mekanisme hukum alamiah tubuh. Tidak perlu bagi saya melakukannya atas nama Tuhan, pun sepanjang saya jalani dengan khidmat, maka refleks hasilnya akan didapat. Dengan kata lain, puasa, bagi saya adalah sebuah terapi kesehatan. Kesehatan fisik dan psikologis.

Jadi karena itulah saya tidak akan puasa demi Tuhan. Saya hanya akan puasa atas kemauan saya sendiri karena ingin meraih khasiat kesehatan dan psikologis. Saya puasa karena ingin terampil melenturkan diri dengan segala kondisi real yang saya hadapi. Ingin latihan menerima diri apa adanya.

Niat berpuasa karena Tuhan, agar selamat dari ancaman dosa karena meninggalkan rukun Islam, puasa agar dapat pahala, puasa agar dunia tahu bahwa saya mengamalkan ajaran agama, dan seterusnya, bagi saya hanya pekerjaan kekanak-kanakan. Dan terbukti, bertahun-tahun saya puasa seperti itu tidak ada hasilnya. Tidak ada perubahan pada sikap, apalagi pada perbuatan saya. Kenapa?

Karena saya puasa hanya demi Tuhan. Demi sesuatu diluar diri saya.
Tuhan imajiner yang bernama ancaman dan iming-iming.



Monday, 23 July 2012

Ternyata Puasa Ramadhan Itu Tidak Wajib

Sebelum membaca tulisan ini, saya sarankan terlebih dahulu pada anda untuk mengecek kadar emosional anda. Karena saya tidak bertanggung jawab bila otak anda terjadi kejang-kejang disertai umpatan sumpah serapah yang keluar dari bibir anda. 


Kenapa saya mengatakan bahwa Puasa Ramadhan itu Tidak Diwajibkan Oleh Tuhan ? 

Jika kita memperhatikan betul ayat yang biasa disampaikan para khatib dalam khutbah maupun para penceramah di bulan puasa, tidak kita temukan satupun ayat yang secara tegas menyuruh kita berpuasa. Yang ada hanya larangan dan hal yang dibolehkan selama puasa. Lantas siapa yang mewajibkan kita berpuasa? 
 
Para kyai dan para ustadz mengatakan, kalimat yang berisi perintah puasa ada di dalam kalimat “Kutiba” dalam rangkaian kata “Kutiba ‘Alaikumus Shiyam”. Padahal, kata "kutiba" bermakna “dituliskan” bukan diwajibkan. Seandainya Allah mewajibkan puasa bagi kita, maka kata “kutiba” harusnya diganti “furidlo” ataupun “wujiba”, yang bermakna difardlukan atau diwajibkan. 

Penggunaan kata kutiba tersebut mengindikasikan bahwa. Hal tersebut sudah ada sebelum alquran diturunkan. Karena hal tersebut sudah menjadi konsekuensi logis dari kehidupan manusia, sehingga tanpa perlu diperintah sekalipun harusnya dilaksanakan, sebagaimana makan, minum, tidur, dan lain sebagainya

Sama halnya dengan perbuatan selain kaitannya dengan puasa, seperti shalat, qishash, dan wasiyat, tanpa perlu ada perintah sekalipun sudah menjadi konsekuensi bagi seorang mukmin untuk melakukannya. Contohnya wasiyat, tanpa diwajibkan sekalipun sudah lazim orang yang memberi pesan sebelum meninggal. Qishash, sudah wajar dilakukan jika hilangnya nyawa dibalas nyawa. Shalat, sudah menjadi hal yang lumrah jika seorang hamba mengabdi dan melaporkan diri kepada tuannya, sebagaimana makhluk pada khaliknya. Puasa, adalah sebuah manifesto dari rasa syukur atas nikmat yang kita terima selama sebelas bulan, berbagi dengan orang yang biasa kelaparan, dan lain sebagainya.

Sehingga, sejatinya puasa tidak diwajibkan oleh Allah. yang mewajibkan adalah diri kita sendiri dalam hakikat kita sebagai seorang manusia yang beriman. Jika selama ini anda berpuasa karena perintah Allah, maka segeralah berubah, dan berpuasalah karena itu konsekuensi dari keimanan anda.


Wednesday, 27 June 2012

Ber-Agama Dengan Akal Sehat


Sebuah pepatah Arab yang diyakini sebagai hadis Nabi mengatakan bahwa “agama adalah akal” (al-dinu huwa al-aql). Pepatah ini sering dikutip ulama dan sarjana Muslim untuk menegaskan bahwa beragama membutuhkan akal agar manusia tidak terjatuh ke dalam taklid buta yang bisa menyesatkan mereka. Saya senang dengan pepatah ini, bukan hanya karena ia menunjukkan aspek rasionalitas dari Islam, tapi juga karena pepatah itu, jika ditarik lebih jauh lagi, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan temuan para saintis tentang hubungan agama dan akal.

Agama bukan hanya akal, tapi merupakan produk akal manusia. Tanpa akal tak ada agama. Hanya makhluk hidup yang berakal yang beragama. Yang tak berakal tidak menciptakan agama dan tak pernah peduli dengan agama. Yang membedakan manusia dari hewan-hewan lainnya adalah akal yang dimilikinya. Akal adalah lambang kemajuan dalam proses evolusi makhluk-hidup yang panjang.

Akal adalah bentuk non-fisik dari otak. Ia bisa diumpamakan sebagai piranti lunak (software) yang berjalan di atas otak yang merupakan piranti keras (hardware) pada sebuah komputer. Seluruh hewan bertulang belakang (vertebrata) memiliki otak dan sebagian besar hewan tak-bertulang belakang (invertibrata) juga memiliki otak. Ukuran otak manusia lebih besar dibanding rata-rata ukuran otak hewan lainnya. Akal manusia juga merupakan yang tercanggih dibandingkan akal hewan-hewan lainnya.

Jika menggunakan analogi komputer, manusia memiliki prosesor (otak) terbaru dengan sistem operasi (akal) tercanggih, sementara hewan-hewan lain memiliki prosesor dan sistem operasi yang jauh tertinggal. Prosesor dan sistem operasi yang canggih dapat menciptakan banyak hal, seperti memroses kata, mendesain, merekam suara, memutar lagu, dan mengedit film. Sementara prosesor dan sistem operasi yang tertinggal hanya bisa melakukan kerja-kerja terbatas. Semakin tertinggal sebuah komputer semakin terbatas ia melakukan fungsinya, semakin canggih sebuah komputer semakin banyak kemungkinan yang bisa dilakukan.

Tentu saja, otak manusia jauh lebih kompleks dari komputer. Tapi analogi di atas setidaknya bisa membantu kita memahami perbandingan antara apa yang telah dilakukan manusia dengan otaknya dan apa yang telah dicapai hewan-hewan lain. Kita sering melihat dua buah komputer yang tampilan luarnya sangat mirip namun berbeda dalam kemampuan kerja yang dilakukannya. Komputer dengan “otak” yang lebih maju selalu memiliki kualitas dan kapasitas yang lebih baik.

Begitu juga manusia dibandingkan hewan-hewan lainnya. Yang membedakan mereka bukan bentuk fisiknya, tapi otaknya. Secara fisik, manusia dan kera (orangutan, gorila, dan simpanse) tak banyak memiliki perbedaan. Semua anggota tubuh yang dimiliki manusia juga dimiliki kera, dari kepala, tangan, kaki, jumlah jemari, bahkan bagian-bagian internal dalam tubuh mereka, seperti jantung, hati, empedu, dan ginjal. Bahkan, DNA, bagian paling penting yang membentuk tubuh manusia, tak banyak berbeda dari kera. Menurut penelitian terbaru, kedekatan DNA manusia dengan orangutan sekitar 96%, dengan gorila 97% dan dengan simpanse 99%. Dengan semua kemiripan ini, pencapaian manusia jauh melampaui semua hewan jenis kera itu. Mengapa?

Jawabannya adalah otak. Otak juga yang membedakan kera dari hewan-hewan lain. Para ilmuwan sepakat bahwa kera memiliki inteligensia di atas rata-rata hewan lainnya. Kera adalah satu-satunya jenis primata, selain manusia, yang memiliki kesadaran diri dan bisa menggunakan alat sederhana, seperti batu dan kayu. Otak kera memiliki ukuran yang lebih besar dari rata-rata hewan lain dan memiliki jaringan neuron yang sangat kompleks. Hanya otak manusia yang bisa menandingi otak kera, baik dalam hal volume maupun kerumitan jaringan.

Agama, seperti juga budaya dan produk-produk lainnya, adalah hasil kerja otak. Otaklah yang menciptakan bangunan, rumah, kuil, dan candi. Otak juga yang menciptakan konsep-konsep abstrak seperti kecantikan, keindahan, kekuasaan, kekuatan, kemurkaan, dan sebagainya. Konsep-konsep dalam agama, seperti tuhan, dewa, malaikat, setan, dan sejenisnya, tidak datang begitu saja. Ia lahir dari otak yang sudah berkembang, maju, dan memiliki kosakata yang cukup untuk mengungkapkannya.

Otak manusia juga yang mengembangkan agama dari bentuknya yang “primitif” hingga menjadi agama-agama modern yang sistematis seperti sekarang. Tentu saja, ada sebagian ritual primitif yang hilang, tapi ada sebagian lain yang dipertahankan. Selama otak manusia masih bisa menerima ritual-ritual itu (seberapapun absurd-nya), dia akan terus hidup, tapi jika otak manusia tak bisa lagi menerimanya, ritual-ritual itu akan lenyap. Misalnya, penyembelihan anak gadis untuk dipersembahkan kepada Tuhan (dewa) pernah menjadi ritual suatu agama, tapi ketika otak manusia tak lagi bisa menerimanya, ritual itu ditinggalkan.

Pada akhirnya, seperti kata pepatah Arab yang di atas: agama adalah akal. Tidak ada agama bagi yang tak berakal. Akal adalah pembimbing manusia yang paling alamiah. Tanpa akal, agama tak punya makna.


Sunday, 20 May 2012

Filsafat Islam Itu Hanyalah Apologi

Kadang-kadang saya berpikir,pada prinsipnya tidak ada filsafat Islam,meskipun banyak penulisan sejarah yang mengatakan bahwa Islam pernah berjaya dalam dunia filsafat atau pemikiran. Bila dikilas balik secara kritis,filsafat Islam tak lebih dari duplikasi dari filsafat Yunani. Apa yang dilakukan Al Kindi,Al Farabi,Ibnu Rusyd dan seterusnya tampaknya hanya memaksakan filsafat Aristoteles ke dalam Alquran,usaha untuk mendamaikan Alquran dengan filsafat.

Bagi saya lucu menggandengkan filsafat dengan Alquran. Agama (Alquran) fondasinya adalah wahyu yang diyakini umatnya. Itu sebuah postulat. Sedangkan filasafat murni bertumpau pada nalar.

Kadang saya berpikir, mungkin saja sikap para pemikir Islam dalam mempublikasikan pemikirannya pada publik bukanlah sebuah sikap yang murni, mengingat reaksi masyarakat yang tidak kondusif untuk sebuah pemikiran bebas. Untuk menjaga harmoni itulah maka para filsuf Islam bersikukuh mendamaikan atau membuat jalan tengah antara filsafat dengan Islam.

Menurut saya, jika mau jujur, akhirnya harus diakui bahwa Barat memang hebat di bidang pemikiran. Dalam sejarah Barat memang ada sebuah zaman yang disebut sebagai abad kegelapan. Kemudian berkat jasa Islam lalu muncullah kembali abad Pencerahan di Barat, sehingga sering disebut dalam sejarah dan retorika bahwa kemajuan Barat hari ini sesungguhnya berasal dari Islam. Tetapi umat Islam sendiri tidak memanfaatkan kejayaannya sendiri.

Untuk saat ini, menurut saya,justru pandangan itu keliru. Saya menilai itu hanya sebuah kompensasi atas ketidakberdayaan, sehingga perlu dibangun sebuah wacana apologis atau klaim akan kehebatan sendiri. Kenapa tidak diakui saja,bahwa Barat memang sudah maju sejak dulu? Bukankah Yunani itu adalah Eropa, dan itu berarti adalah Barat. Kemudian para pemikir Islam menterjemahkan filsafat Yunani dan sebagian menyadurnya.




Me-Filsafat-i Kalimat Insya Allah

Secara gambang Insya Allah artinya adalah izin Allah, atas izin Allah, kalau Allah mengizinkan, dan sejenisnya.

Umat Islam sangat dianjurkan mengucapkan kalimat ini. Karena segala sesuatu,tidak akan terjadi di alam dan kehidupan ini tanpa kehendak Tuhan. Tanpa keinginan Tuhan. Tanpa seizin Tuhan. Karena itu mengatakan sesuatu, apalagi ketika berjanji dengan seseorang tanpa mengucapkan kalimat ini, dikatakan sikap yang takbur. Bahkan lebih jauh bisa dinilai sebagai sombong.

Contoh:

    “Okey nanti saya akan datang ke rumahmu.”

Nah, pernyataan ini tergolong takbur. Kenapa dia bisa mengatkan dengan tegas bahwa dia akan datang ke rumah temannya dengan pasti? Seolah-olah tidak akan terjadi halangan dari rencananya? Padahal dalam perjalanan waktu,segala sesuatu bisa saja terjadi. Misalnya tiba-tiba hari hujan,atau ia tabrakan,mendadak jatuh sakit dan sebagainya. Akibatnya tentu dia tidak jadi bisa berkunjung ke rumah temannya. Tapi dengan mengucapkan: “Insya Allah saya akan datang nanti ke rumahmu” berarti dia sudah menyandarkan rencananya kepada keputusan Allah. Artinya kalau Allah mengizinkan. Dengan kata lain, manusia punya rencana, tapi Tuhan yang memutuskan.

Nah, begitulah makna Insya Allah dalam keyakinan umat Islam. Dan ini jelas-jelas sebuah dogma, sebuah kepercayaan. Atau dalam kaca mata Filsafat, keyakinan seperti itu adalah sebuah postulat. Sebuah pengandaian. Dimana segala penafsiran,sepanjang apapun, berakar pada postulatnya,yatiu postulat bahwa Tuhan itu ada. Postulat bahwa Tuhan itu maha Berkehendak. Maha Berkuasa. Jika postulat ini ditolak, maka gugurlah semua makna yang dibangunnya.

Pemaknaan seperti ini baru menyentuh sisi emosional keagamaan bagi saya. Belum memuaskan secara penalaran. Karena itu saya mencoba menafsirkan Isnya Allah ini dari sisi lain, yaitu meminjam analisis Positivisme Logis-nya Alfred J. Ayer, seorang Filsuf Jerman Abad -20.

Inti dari pandangan Ayer adalah verifikasi. Yaitu pembuktian. Jika saya mengatakan bahwa saya nanti akan pergi ke pasar, maka ucapan ini tidak bermakna. Karena ucapan itu tidak bisa dibuktikan. Karena peristiwa itu belum terjadi saat saya mengucapkannya. Jika saya katakan ada postingan saya yang terbit di Belajar Saraf, maka ucapan ini disebut Ayer sudah bermakna. Karena sekarang juga bisa dibuktikan bahwa tulisan saya memang ada di blog ini. Saya atau anda tinggal mengkliknyai. Itulah verifikasi.

Tapi jika saya katakan minggu depan saya akan ke Perancis, maka ucapan ini tidak bermakna. Karena ucapan ini tudak bisa diverifikasi saat ini. Toh peristiwanya belum terjadi. Bagaimana mungkin bisa dibuktikan. Lalu jika dinyatakan: “Tetap bisa kok dibuktikan? Tunggu saja bila waktunya sudah tiba? Terbukti sendiri kan?” Ya tapi mengukur bermakna tidaknya sebuah ucapan adalah di saat saya mengucapkannya. Masih dalam rentang waktu yang sama. Tapi kalalu saya katakan bahwa saya saat ini saya sedang menulis, maka ucapan saya ini bermakna. Karena memang terbukti saya sedang menulis.

Nah, sehubungan dengan itu, sebagai tambahan, menyatakan besok matahari akan terbit misalnya adalah pernyataan yang tidak bermakna. Meskipun di masa lalu matahari selalu terbit, tapi siapa yang bisa menjamin bahwa esok matahari masih akan terbit? Yang bisa dikatakan hanyalah matahari saat ini sedang terbit. Atau saat ini matahari tidak terlihat. Karena pernyataan inilah yang bisa dibuktikan. Itulah prinsip verifikasi positivisme logis yang digagas Ayer.

Sebuah pernyataan hanya bermakna bila bisa dibuktikan secara empirik. Bila bisa diverifikasi dalam kondisi kekinian. Dalam bentangan waktu yang bisa dijangkau oleh manusia. Jika saya nyatakan bahwa besok saya akan ke Surabaya, maka ucapan ini tidak bermakna. Jangankan besok, satu jam lagi saya akan makan, juga tidak bermakna. Karena siapa yang bisa menjamin bahwa satu jam lagi saya akan bisa makan. Pernyataan itu baru dalam bentuk imajinasi. Dan imajinasi jelas bukanlah kalimat yang bermakna dalam pandangan postivisme logis.

Jadi yang palilng mungkin saya katakan hanyalah apa yang terjadi dan apa yang saya alami saat ini dan di sini. Misalnya saya katakan saat ini saya masih hidup. Saat ini saya sedang bernafas. Saat ini saya sedang gila, dan seterusnya sepanjang dalam lingkaran waktu saat ini. Tapi jika sebentar lagi? Saya tidak bisa menjamin.

Meskipun saya tidak sejalan bila gagasan Ayer ini digeneralisir untuk semua hal, tapi untuk memaknai kalimat Insya Allah ,Filsafat Ayer ini sangat berjasa bagi saya. Benar-benar menguatkan makna Insya Allah dari sisi penalaran bagi saya. Jadi jika saya katakan Insya Allah, maka dalam kesadaran saya, saya tidak hanya memahaminya secara dogmatis, tapi memang sudah terbukti bagi saya bahwa saya memang tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi di luar lingkaran waktu yang saya alami.

Kenapa untuk memhami Insya Allah saja kok rumit-rumit amat sih. Bilang saja hanya Allah yang bisa menjamin apa yang akan terjadi,selesai kan. Nggak perlu pusing-pusing toh.

Ya itu sah-sah saja dan hak siapa saja. Tapi bagi saya pribadi klaim dogmatis seperti itu hanya memuaskan sisi emosional saya. Tapi sisi penalaran? Tidak. Nah di sinilah sumbangan Ayer bagi saya. Kalimat Insya Alalh itu saya terima secara iman dan penalaran, bahkan juga empiris. Bahwa kenyataannya, segala sesuatunya terlihat oleh saya tidak terjadi tanpa seizin Tuhan. Itu sebabnya saya tidak bisa takbur dengan segala pernyataan yang bersifat mutlak. Segalanya hanya dalam kemungkinan. Relatif. Karena memang saya tidak bisa mengetahui dan melampaui kesadaran saya dalam ruang dan waktu yang melingkupi diri saya saat ini. Saya tidak bisa melampaui kedisinian dan kekinian saya.




Tuesday, 15 May 2012

Tinggalkan Cara Berpikir Positif. Ganti Dengan Berpikir Realistis

Anda tentu pernah mendengar jargon seperti ini: “Suatu saat agama Islam pasti akan menang dan berjaya.” Ini namanya slogan. Atau utopia. Suatu halusinasi yang tak pernah ada dan tak mungkin menjadi kenyataan. Kenapa?

Karena kenyataannya, apa yang dialami manusia, maju mundurnya, kemalangan dan kemajuannya,adalah karena usahanya sendiri. Dan secara menyeluruh, secara kolektif, apa yang terjadi adalah karena proses dinamika sejarah. Atau proses dialetika hukum alam.

Anda tidak percaya?
Maaf. Sudah saatnya sekali-sekali kita mengganti berpikir positif dengan berpikir realistis. Berpikir sesuai kenyataan yang ada. Tanpa harus merasa bersalah.

Siapa yang membuat anda bisa mahir mengakses internet hingga akhirnya kesasar kehalaman tulisan ini? Siapa yang membuat anda lulus ujian skripsi tahun lalu? Siapa yang membuat anda bisa mendapatkan pekerjaan di tempat anda bekerja sekarang? Siapa yang membantu mengantarkan anda masuk rumah sakit tempo hari? Siapa yang menolong ketika anda kecelakaan minggu lalu? 

Kenapa anda tetap sakit ketika anda tidak pergi berobat? Dan kenapa tetangga anda tetap mati ketika dia sudah tak henti-hentinya berdoa saat tumor ganas mengamuk di sekujur tubuhnya? Kenapa anda tetap stress memikirkan nasib dan kehidupan anda padahal anda sudah jungkir balik beribadah dan berdoa? Kenapa anda tetap ditipu oleh orang-orang licik dan para politikus Negara ini? Padahal mereka adalah tikus-tikus rakyat. Padahal anda orang baik-baik yang taat beragama dan malah gigih memperjuangkan dan membela agama Islam?

Kenapa ratusan umat Islam tetap bisa digempur oleh Negara-negara imperialis? Kenapa umat Islam tetap mati ditembak oleh orang-orang yang anda sebut kafir? Kenapa umat Islam tetap menjadi sasaran permainan bak boneka oleh orang-orang cerdik dan licik? Kenapa agama Islam sangat mudah dipermainkan dan dijadikan tumbal politik oleh para politukus? 

Apakah belum cukup bukti bagi anda bahwa umat Islam tidak pernah ditolong Tuhan?

Mari berpikir realistis. Berpikir empiris. Lihat kenyataan apa adanya.
Dan mari kita akui dengan gagah berani tanpa rasa bersalah.

Hanya ada satu yang menolong kita di dunia ini.

Berpikir dan bertindak selaras dengan hukum alam. 

Ingin pandai ya belajar. Ingin sehat ya jaga kesehatan. Ingin tenang ya kendalikan pikiran. Ingin kaya ya rajin berusaha. Ingin dicintai orang ya tanam rasa cinta dihati. Ingin disukai orang ya pandai bergaul. Ingin selamat ya hindari bahaya.

Ingin umat Islam berjaya ya kembangkan SDM umat Islam. Ingin umat Islam tangguh dari serangan musuh ya kembangkan pertahanan militer. Ingin agar umat Islam tidak gampang dituipu ya pertajam naluri politik. Ingin umat Islam punya reputasi ya buktikan dalam kenyataan bahwa umat Islam memang membawa damai dan membuat dunia merasa nyaman dan tercerahkan.

Itulah hukum alam yang tidak terbantah.
Berpikirlah realistis dan lihat kenyataan.

Tapi kenapa dalam Alquran selalu disebutkan bahwa Tuhan akan menolong hambaNya yang taat padaNya?

Itu gunanya untuk menghibur anda. Itu kalau anda belum mampu memahami hidup yang sangat kompleks ini. Kalau anda sudah mampu berpikir kompleks, maka ayat-ayat seperti itu harus dipahami secara maknawiah. Bukan harfiah. Bukankah sudah terbukti bahwa yang menolong anda dari segala kesulitan adalah usaha anda sendiri? Atau anda dibantu oleh orang lain? Kapan Tuhan membantu anda? Coba tunjukkan pada saya kalau ada.

Ya tapi kalau begitu apa gunanya agama dan berdo’a pada Tuhan Brow?

Ya untuk menghibur anda semua.
Penasaran? Coba simak YANG INI berfikir tanpa harus meninggalkan agama Islam dan menolak Tuhan.



Saturday, 28 April 2012

Benarkah Manusia Adalah Ciptaan Tuhan??

Kemarin teman saya menanyakan hal ini. Kenapa manusia ada? Jawaban saya saat itu adalah karena Seleksi alam memaksa leluhur untuk beradaptasi atau mati. Individu yang mengalami mutasi yang menguntungkan pada leluhur manusia berhasil selamat dan berkembang biak. Sesederhana itu.?
Namun setelah cukup lama berpikir, ternyata keberadaan manusia di Bumi sekarang tidak semata karena evolusi. Bila ditarik garis ke belakang, ke masa lalu, maka ada serentetan peristiwa luar biasa yang menandai kehadiran kita di Bumi. Mari kita telusuri ke masa lalu, apa saja yang menyebabkan mengapa manusia ada.

 

 Karena adanya Kekacauan

What? Tapi itu benar. Kita ada karena dunia ini kacau. Fenomena ini dijelaskan oleh teori Chaos yang terkenal dengan istilah Butterfly Effectnya. Pada dasarnya teori Chaos mengatakan, sedikit saja gangguan pada sebuah sistem chaos, maka akan terjadi perubahan perilaku yang drastis. Ambil contoh begini, bayangkan kalau hidung Cleopatra sedikit saja lebih pesek atau sepatu kuda raja Richard III kurang satu, kerajaan dapat runtuh, dan dunia akan sangat berbeda dari sekarang. Inilah efek kupu-kupu, sesuatu yang sepele, ternyata bisa berakibat besar. Para ilmuan mengamatinya pada sistem cuaca. Sedikit saja suhu di naikkan, atau kelembaban udara turun satu angka pada posisi desimal, maka cuaca menjadi berubah drastis. 

Analoginya seperti meletakkan satu demi satu bulu di atas jembatan. Suatu saat, entah itu kapan, kamu cukup meletakkan satu bulu, dan tiba-tiba jembatan menjadi runtuh karena bebannya terlampaui. Karenanya, kita ada sekarang, dipengaruhi oleh begitu banyak kekacauan di masa lalu, berbagai peristiwa kecil yang terlihat sepele namun berdampak luas bagi hidup kita.

Dari tak terhitung kekacauan yang terjadi di dalam sejarah, tentunya ada peristiwa yang sangat kacau dan peristiwa yang tidak terlalu kacau. Sebagai contoh, suhu di malam orang tua saya ML menentukan keberadaan saya. Jika sedikit saja lebih dingin, saya tidak akan ada. Tapi tetap ada manusia toh? Walaupun bukan saya, tapi ia tetap mirip orang tua saya, dan mungkin mirip saya. Dia tidak akan mirip dengan, katakanlah Zebra. Tentunya ada sebuah saat dimana kekacauan lebih berpotensi menghasilkan kita daripada kekacauan jenis lainnya. Jadi, mari kita tanyakan kembali, mengapa manusia ada?

 

Karena Ada Danau Toba

Danau Toba dulunya adalah supervolcano. Ia meletus sekitar 85 ribu tahun lalu dan mempengaruhi Asia dan Afrika. Saat itu leluhur manusia kita hidup kurang lebih stabil. Tapi dengan adanya letusan Toba, mereka dipaksa untuk beradaptasi, atau mati. Kita diambang kepunahan waktu itu. Seandainya para leluhur tidak mampu beradaptasi, kita tidak akan ada di sini.

Saat itu daerah subur merupakan harta karun bagi leluhur. Para leluhur berkompetisi dengan sesama mereka maupun dengan primata lainnya. Inovasi seperti alat batu dan alat tulang merupakan hal yang berharga. Alat membantu kita mendapatkan makanan jenis baru. Bayangkan sebuah kayu panjang yang dapat menjatuhkan mangga atau cangkul untuk menggali umbi-umbian.


Dengan banyaknya tekanan seleksi yang menggoyang evolusi kita, perlahan leluhur mulai berubah. Ucapan mereka, misalnya, dulu hanya sederhana, mungkin hanya ah ih uh. Lama kelamaan menjadi kompleks, dan membentuk bahasa kita. Dengan bahasa, gagasan-gagasan dapat lebih luas, cakrawala lebih lebar dan lebih sedikit kesalahpahaman.  Mutasi pada gen pembentuk otak mengakibatkan beberapa leluhur mampu melakukan vokalisasi yang lebih kompleks. Keturunannya mampu berbicara dengan kosakata lebih banyak dan fleksibel dan meledakkan kendala komunikasi interpersonal. Bahasa telah muncul.

Tapi saat ini manusia sudah ada. Karenanya, mengapa manusia ada belum terjawab. Terjadinya letusan Toba mungkin menjawab pertanyaan, mengapa manusia memiliki teknologi, mengapa kita tidak seperti manusia purba, tapi tidak banyak perbedaan antara manusia sekarang dengan 70 ribu tahun lalu. Kita masih satu spesies, sama-sama Homo sapiens. Jadi, mengapa manusia ada?

 

Karena Pohon sedikit

Sebelum sekitar 20 juta tahun lalu, Afrika Timur dipenuhi hutan rimba tropis mirip Amazon. Leluhur kita berlompatan di pepohonan, menikmati lebatnya pepohonan. Kemudian Bumi bergerak, magma di bagian bawah Ethiopia Utara menggeser perlahan. Dalam 15 juta tahun kemudian, dua pegunungan raksasa terbentuk dari utara ke selatan, masing-masing dengan tinggi 2 kilometer dari utara ke selatan. Dari Timur, angin yang datang dari Samudera Hindia ditolak balik oleh pegunungan ini. Dari Barat, angin yang datang dari Samudera Atlantik dan Kongo di tolak balik, juga oleh pegunungan ini.  Akibatnya, curah hujan menurun. Hutan rimba perlahan berubah menjadi padang rumput yang luas.


Bagi leluhur kita, tinggal di pohon tidak lagi nyaman. Pohon sedikit dan populasi mereka bertambah. Berdesakan di pohon tidaklah baik. Kadang ada yang jatuh dan tewas. Ada banyak jalan sebenarnya, tapi kebetulan, sebuah mutasi memungkinkan leluhur untuk dapat berjalan, bukannya berayun di pepohonan. Kemampuan berjalan memberi banyak kemudahan. Dan tibalah saat itu, 6 juta tahun lalu, sebuah spesies primata belajar berdiri dan berjalan dengan dua kaki.

Lingkungan yang berubah cepat berarti evolusi primata ini tidak berhenti sampai disini. Sekitar 2.5 juta tahun lalu, evolusi mengambil dua jalan. Pertama menuju otak yang lebih besar agar dapat mencari cara lebih baik untuk beradaptasi, kedua dengan mengembangkan rahang yang lebih besar untuk memakan biji dan umbi yang keras. Strategi pertama memiliki kekuatan terbesar. Manusia dengan rahang besar punah, sementara manusia dengan otak besar, Homo habilis, bertahan. Dialah leluhur semua manusia di Bumi sekarang.

Saat ini jawaban kita pada pertanyaan: Mengapa manusia ada, adalah karena pepohonan sedikit. Leluhur kita hidup di pohon, tanpa pohon mereka harus beradaptasi, atau mati. Lalu mengapa leluhur yang hidup di pohon ini ada? Mengapa primata ada?

 

Karena dinosaurus punah

Meteor raksasa yang pernah kami bahas dalam dampak tumbukan meteor, yang kita simulasikan jatuh di Bandung dan menghabisi umat manusia, jatuh sekitar 100 juta tahun sekali. Tapi justru keberadaan kita mungkin disebabkan peristiwa yang sama, 65 juta tahun lalu.


Saat itu, sebuah asteroid berdiameter 10 kilometer menghantam semenanjung Yucatan di Meksiko masa kini. Karbon dan gas kaya belerang dari lapisan batuan yang terhantam mencuat ke angkasa yang terbakar, langit menghitam, Bumi mendingin dan hujan asam mengguyur. Dalam beberapa bulan, seluruh spesies dinosaurus punah. Begitu juga beberapa spesies reptil di lautan dan udara, amonita, sebagian besar burung dan tanaman darat.

Separuh spesies mamalia ikut punah. Yang bertahan hidup adalah mereka yang paling kecil dan lincah, berlarian bersembunyi di balik batuan dan reruntuhan. Mereka pemakan bangkai dan justru senang melihat punahnya dinosaurus. Di satu sisi mereka tidak memiliki predator, di sisi lain, bangkai dinosaurus berserakan di mana-mana. Sebuah pesta besar bagi mamalia kecil. Dalam waktu singkat, mamalia berkembang biak, meluas di sekitar ekosistem air tawar.

Merekalah para pewaris bumi. Mamalia menggantikan kekuasaan dinosaurus di darat dan kemudian di laut. Kita belum menguasai udara. Burung lebih cepat ke sana, sementara kelelawar tidak terlalu mampu.
10 juta tahun setelah kepunahan dinosaurus, mamalia menjalari segala jenis niche di darat, dengan berbagai jenis adaptasinya, salah satunya di pepohonan, seperti leluhur kita. Tapi, kenapa dinosaurus, mamalia dan semua hewan yang disebutkan di atas ada?

 

Karena Pemanasan Global

800 juta tahun lalu, seluruh daratan di Bumi tersatukan dalam superbenua Rodinia. Super benua ini mulai retak, rusak di setiap pijakannya, akibat aktivitas magma. Dari retakan-retakan tersebut melepaskan gas yang mempengaruhi cuaca sehingga udara lebih dinamis dari sebelumnya. Samudera dipenuhi nutrisi, sama halnya dengan suburnya daerah sekitar gunung berapi sekarang. Populasi Cyanobacteria meledak. Karena cyanobacteria adalah bakteri fotosintesis, maka ini berarti terjadi ledakan oksigen di mana-mana. Sampah fotosintesis ini menjalari atmosfer Bumi. Ya, oksigen adalah sampah. Ia hasil buangan dari proses fotosintesis tumbuhan.

Fotosintesis membutuhkan karbon dioksida. Akibatnya, karbon dioksida disedot dari Bumi oleh para cyanobacteria. Bumi pun mengalami pendinginan global. Sebuah periode yang disebut ilmuan “snowball earth”. Mahluk-mahluk ber sel satu menggigil kedinginan dan mati, beberapa ber evolusi, memunculkan tipe sel baru yang lebih kompleks.

Mereka adalah ganggang hijau dan lumut kerak. Perlahan mereka berusaha hidup di daratan. Keseimbangan tercapai saat banyak cyanobacteria sendiri mati. Karbon dioksida kembali bertambah. Mulailah pemanasan global.

635 juta tahun lalu, pemanasan global membuat Bumi yang tertutup salju mulai mencair. Es menarik diri dari khatulistiwa menuju ke kutub. Daratan terbuka dan para lumut kerak bergembira. Mereka menancapkan akarnya (hifa) di bebatuan. Pelapukan biologi, kimia dan fisika terjadi di daratan dan mengubah batuan menjadi tanah. Sisa pelapukan terbasuh dari daratan ke lautan, dan lautan ikut merasakan kegembiraan atas limpahan nutrisi.

Lumut kerak terus memangsa batuan dan aliran nutrisi ke lautan terus menjejalkan kenikmatan pada para bakteri fotosintesis. Oksigen pun melonjak kembali hingga pada persentase sekarang.
580 juta tahun lalu, leluhur hewan pertama muncul, lalu leluhur tanaman berdaun. Mereka pada gilirannya kelak akan memiliki keturunan yang dapat berdiri di tepi pantai, menghirup segarnya udara yang dibawakan angin laut.
Sekarang pertanyaannya adalah, mengapa ada ganggang hijau dan lumut kerak?

 

Karena ada Benturan dua mikroba

Kehidupan di bumi didominasi dua jenis sel: prokariota (bakteri dan arkea) yang hanyalah sebuah tas kimiawi, dan eukariota, sel dengan berbagai perlengkapan tempur untuk hidup lebih baik (selaput internal, sistem rangka dan transportasi). Bakteri terbesar di dunia hanyalah kurang dari satu milimeter, tapi sel eukariota terbesar (telur) bisa mencapai hampir satu meter. Para bakteri hanya mampu paling bisa membuat untai sel-sel sejenis dirinya, tapi sel eukariota mampu bekerja sama membuat segalanya mulai dari otak, daun, tulang dan kayu.

2 miliar tahun lalu, yang ada hanyalah bakteri dan arkea. Keduanya adalah prokariota. Lalu kejadian aneh terjadi. Seekor arkea yang sedikit berbeda dari leluhurnya berbenturan dengan seekor bakteri. Proses kimia membuat mereka berikatan dan tidak dapat lepas. Merekapun bersimbiosis, dan jadilah eukariota pertama. Sang Bakteri itu sendiri bertugas sebagai pembangkit energi sel. Ia ber evolusi menjadi mitokondria.

Istilah simbiosis di dalam sel tersebut adalah endosimbiosis. Kloroplas misalnya, dulu adalah bakteri fotosintesis yang hidup bebas. Ia ikut serta dalam parade sel jenis baru. Satu demi satu kelompok kerjasama ini terbentuk dan hidup bersama bentuk-bentuk sel tunggal di lautan. Bedanya, sel eukariota mampu bekerja sama dengan sel eukariota lain, membentuk apa yang kita sebut mahluk multiseluler.
Lalu, kenapa ada bakteri dan arkea?

 

Karena Bumi disiram dengan bom

Misi ke bulan memberikan kejutan bagi kita. Kawah-kawah raksasa di sana ternyata usianya sama. Usia mereka 3.9 miliar tahun. Apa artinya ini? Ini berarti 3.9 miliar tahun lalu terjadi sebuah pengeboman besar-besaran di Bulan. Sangat jelas kalau ini juga berarti hal yang sama terjadi di Bumi. Bumi lebih besar, hanya saja kawahnya habis terkikis proses dinamika planet ini.


Tidak jelas mengapa terjadi peristiwa pengeboman saat itu. Ada yang menduga kalau terjadi resonansi gravitasi di empat planet raksasa: Yupiter, saturnus, uranus dan Neptunus. Posisi orbit mereka sedemikian rupa sehingga keseimbangan diantaranya terganggu sebentar. Akibatnya, asteroid-asteroid tak berdaya di sekitarnya terlontar ke tata surya dalam, termasuk Bumi.


Sangat mungkin kalau diantara bom-bom raksasa penghajar Bumi itu salah satunya atau beberapa adalah komet. Mereka terbentuk jauh lebih dalam di pinggiran tata surya dan karenanya membawa air beku di dalam perutnya. Air tersebut terbongkar saat mereka menghantam Bumi dan menjadi air pertama di Bumi.
Saat pengeboman berakhir, wajah Bumi benar-benar kacau. Berantakan dengan berbagai kawah berisi lahar di mana-mana. Seiring waktu, orbit stabil dan Bumi mendingin. Di dalam kawah-kawah saksi bisu tumbukan kejam itu, mulailah air dari komet mencair dan menjadi oasis-oasis tempat lahirnya kehidupan pertama di planet Bumi.

Bila sebelum pengeboman terjadi ternyata sudah ada kehidupan di Bumi, maka pengeboman tersebut mungkin menyapu kehidupan, menyisakan bakteri-bakteri yang paling tahan terhadap panas. Kita melihat bukti ini dari bulan. Lalu kenapa bulan ada?

 

Karena Bumi ditampar

4.5 miliar tahun lalu, bumi hanyalah bayi planet yang rentan. Sementara di mana-mana berterbangan bebatuan raksasa yang tidak jelas arahnya. Satu di antaranya menampar bumi. Sang penampar berukuran lebih kecil. Saat ia menghantam Bumi, sebagian dirinya tertanam di planet ini, sebagian lagi terlontar balik ke luar angkasa. Inilah bulan, yang engkau lihat di langit malam.


Pasangan Bumi-Bulan tidak ada bandingnya di Tata Surya. Planet lain punya satelit yang jauh lebih kecil darinya. Tidak heran Yupiter sang raksasa punya puluhan satelit. Mereka umumnya berasal dari batu-batu kecil yang terjebak di titik gravitasi dan menumpuk, atau berasal dari batuan yang lewat terlalu dekat dengan planet hingga tertarik dan tak dapat lepas.


Keberadaan Bulan mencegah perubahan liar dalam pola pemanasan Matahari di permukaan Bumi. Akibatnya Bumi tidak mengalami ayunan iklim yang ganas. Bumi juga tidak mengalami perubahan suhu yang drastis dimana Bumi membeku sepenuhnya. Kondisi yang ideal untuk berkembangnya kehidupan.
Selanjutnya, kenapa ada Bumi, Bulan dan Matahari, dan planet-planet di Tata Surya?

 

Karena ada Bintang yang Meledak

Alam semesta dipenuhi hidrogen, helium dan debu di mana-mana. 4.6 miliar tahun lalu, Salah satu pojok yang padat dengan adukan ini mendapatkan limpahan energi. Petunjuknya datang dari meteorit. Berbeda dengan batuan asli planet Bumi, meteorit nyaris tidak berubah semenjak ia diremas saat Tata Surya terbentuk. Meteorit tua ditemukan mengandung banyak besi-60, sebuah isotop radioaktif berat. Hanya ada sedikit sekali fenomena yang bisa menyebabkan isotop ini terbentuk di antariksa. Yang paling mungkin adalah supernova. Ledakan bintang raksasa. Ia ibarat goresan korek api untuk menyalakan sumbu bom evolusi di Tata Surya. Awan gas yang merupakan adukan hidrogen, helium dan debu kita terusik dan terkompres. Teori lain mengatakan kalau tidak lah perlu supernova. Bukti menunjukkan sambaran angin bintang raksasa yang cukup dekat dengan awan gas ini dapat memicu pembentukan Tata Surya. Bintang tersebut sendiri mungkin sudah berjalan dalam orbitnya entah kemana, menyisakan tungku bintang menyala di tengah awan gas yang baru di ganggunya. Dan terbentuklah matahari, bersama planet-planetnya.
Lalu mengapa bahan seperti hidrogen, helium dan debu itu ada? Dengan kata lain, mengapa materi ada?

 

Karena Tidak Segalanya diciptakan Berpasangan

Bila segalanya berpasangan, maka tidak akan ada materi. Idealnya setiap partikel yang tercipta dalam Big Bang memiliki anti partikel. Saat keduanya bertemu, terjadi penghancuran satu sama lain, dan dua foton energi tinggi saja yang tersisa. Alam semesta seharusnya berisi lautan cahaya. Itu saja.

Memang ada sedikit kecenderungan ke arah satu sisi saat penghancuran diri partikel vs anti partikel. Tapi hal ini sangat tidak cukup menjelaskan kelimpahan materi di alam semesta sekarang. Entah mengapa tidak semua partikel memiliki anti partikel saat Big Bang, 13.75 miliar tahun lalu. Menurut para ahli fisika teoritis, tampaknya alam semesta kita kebetulan memiliki variabel yang sedikit memungkinkan materi. Ia cukup untuk membuat materi ada tapi tidak cukup untuk membuat seluruhnya materi (tanpa cahaya). Dalam tak terhingga alam semesta, ada yang seluruhnya lubang hitam, ada yang seluruhnya cahaya, ada sedikit yang mengandung materi dan cahaya. Salah satunya alam semesta kita.
Jadi, mengapa alam semesta seluas ini?

 

Karena Alam Semesta Berinflasi

Cukup 0.000 000 000 000 001 detik mundur dari saat anihilasi materi – anti materi kita sebelumnya. Bila model semesta inflasi benar, maka saat ini alam semesta diselubungi medan inflasi yang mengendalikan ekspansi eksponensial alam semesta hanya dalam periode 10-32 detik. Ia merentangkan alam semesta kita menjadi datar dan seragam.

Pengembangan mendadak ini dipengaruhi efek kuantum. Gejolak kuantum membuat satu daerah sedikit lebih padat dari daerah lainnya. Hasilnya adalah bolongan-bolongan di alam semesta kita, yang disebut void. Seratus juta tahun cahaya ke segala arah kita, ada daerah kosong yang begitu besar, gelap, tanpa galaksi, tanpa bintang. Bila variasi ini sedikit saja lebih kecil, maka kita tidak akan ada.

Semua variasi ini tampaknya acak dan sebagian besar fisikawan percaya kalau fluktuasi kuantum sama sekali tidak memiliki sebab. Ia adalah sifat dasar alam semesta.
Pada akhirnya adalah pertanyaan mengapa alam semesta ada?

 

Tidak ada satu orang pun yang Tahu

Ya. Ini tampaknya jawaban yang tidak diinginkan. Kita memang ingin tahu. Tapi sains tidak dapat menjawabnya. Sains cukup berbesar hati, dengan segala metode dan teknologi paling maju dan otak paling brilian di alam semesta, kita belum tahu mengapa alam semesta ada. Yang kita punya hanyalah setumpuk karya ilmiah fisika teoritis tanpa bukti eksperimental sama sekali. Memang kita berusaha, para ilmuan sibuk menguji model standar di LHC dan laboratorium-laboratorium. Mereka juga menatap ke antariksa dengan berbagai teleskop super tajam.

Beberapa dari kita tampak gatal untuk menjawab tanpa pengetahuan. Seorang teman mengatakan, karena Tuhan ada. ia menciptakan alam semesta. Hal ini saya katakan kurang pengetahuan karena well, memang tidak memerlukan pengetahuan untuk mengatakan hal tersebut. Ambil contoh petir. Jaman dahulu orang tidak tahu tentang petir, maka mereka mengatakan Tuhan sedang marah. Sekarang kita tahu kalau petir adalah peristiwa alam biasa.

Begitu pula fenomena Big Bang. Apa yang kita tahu adalah alam semesta mengembang ke segala arah. Karenanya bila dimundurkan ke masa lalu, ia akan berukuran sangat kecil. Sedemikian kecil hingga satu titik dimana hukum fisika yang kita ketahui runtuh. Suatu yang disebut skala Planck yang terdiri dari panjang minimum dan waktu minimum (panjang Planck dan waktu Planck)

Bagaimana alam semesta pada panjang lebih kecil dari panjang Planck? Bagaimana alam semesta sebelum waktu Planck? Inilah dimana pengetahuan kita kurang. Kita belum cukup pandai. Yang dibutuhkan adalah pengetahuan yang lebih banyak, bukannya menjawab tanpa pengetahuan.

Para ilmuan paling brilian berdebat tentang apa yang ada dalam skala Planck. Ada yang bilang kalau ruang, waktu, dan hukum fisika berada dalam singularitas dimana segalanya muncul dari ketiadaan. Ada juga yang bilang kalau alam semesta kembali mengembang dalam siklus kembang – kempis tiada akhir (osilasi).

Jika seandainya Tuhan menciptakan alam semesta, lalu siapa menciptakan Tuhan? Sejauh yang kita tahu, alam semesta bukan hanya ada satu. Ada tak terhingga alam semesta. Apakah Tuhan juga menciptakan tak terhingga banyaknya alam semesta tersebut? Ataukah Ia ada di salah satu alam semesta? Apakah ia mengikuti hukum fisika ataukah ia membuat hukum fisika? Lalu dengan hukum apa ia membuatnya? Dst dst
Seperti yang anda lihat. Solusi Tuhan adalah sebuah jalan buntu. Tidak ada lagi kegembiraan akan penemuan baru, dan tidak ada lagi semangat petualangan ilmiah. Ketiadaan ilmu, itulah yang dicerminkan dari solusi Tuhan.

Mungkin benar apa yang dikatakan Stephen Hawking, alam semesta ada karena adanya hukum dasar fisika seperti gravitasi. Setiap saat tercipta alam semesta dengan segala variasi yang mungkin ada, saling bertumpuk  satu di dalam yang lain. Sekarang dengan semangat inkuiri kita, kita bisa berjuang mencari alam semesta lain tersebut, dan bahkan mungkin membuat alam semesta kita sendiri di lab.


Apakah sekarang anda masih bertanya dari mana hukum tersebut ada? Pelajarilah hukumnya sebelum bertanya ia datang dari mana. Ia adalah batas tertinggi logika kita, dan sekarang kita sedang mendakinya. Mungkin anda akan menyadari kalau hukum demikian tidak mungkin diciptakan. Sama tidak mungkinnnya dengan memasukkan gajah afrika kedalam telur ayam.



Wednesday, 25 April 2012

Mengapa Anda Tidak Perlu Beragama

Bahwa anda lahir ke dunia ini tanpa pernah anda pilih,
adalah fakta yang tak terbantah.
Bahwa tiba-tiba anda menghirup udara begitu lahir, lalu berpijak di bumi,
adalah fakta yang tak bisa ditolak.
Dan tidak bisa anda hindari.


Tapi bahwa anda ingin beragama atau tidak,
adalah sebuah pilihan.

Itulah bedanya kenyataan dengan ilusi atau yang disebut keimanan oleh penganut agama yang patuh. Kenyataan, tak seorang pun manusia bisa menolaknya. Suka tidak suka, paham tidak paham, kenyataan tetaplah kenyataan. Tapi keyakinan, hanya bekerja dalam diri yang meyakininya, dalam ruang bathinnya. Bukan bekerja pada realitas fenomenal.

Firman ini ditulis hanya untuk orang-orang saraf.
Yang pernah, yang masih, dan yang ngotot dengan kegilaannya pada dogma agama. Untuk kembali sadar, bahwa kenyataan adalah hakim tertinggi dalam kehidupan. Sedang agama, mirip dengan selera masakan. 



Islam Fundamentalis dan Modernis

Membaca ayat-ayat Alquran yang sering dijadikan sebagai dasar jihad oleh kaum Islam Teroris, dan melihat sikap umat Islam Fundamentalis yang intoleran dan anarkis, sebagian pihak berangan-angan agar Islam dibumihanguskan, demi terciptanya cita rasa humanisme yang non sektarian dalam kehidupan sosial.


Bagi saya impian itu hanya sebuah utopia. Karena meminjam analisis Peter L Begger, semakin maju peradaban dunia, justru sebaliknya gejala Fundamentalisme agama juga semakin tajam. Berger menyimpulkan bahwa fundamentalisme adalah saudara kembar modernisme. Seakan-akan dia ingin berkata, bahwa tanpa fundamentalisme, modernisme itu menjadi tidak mungkin. Keduanya adalah sayap kiri dan sayap kanan dalam evolusi kebudayaan.

Dan tesis Berger, memang terbukti dalam kenyataan. Setidaknya hingga hari ini.
Pandangan dan teknologi mutakhir apa yang tidak menjulang pada Abad ini? Pada kebudayaan kontemporer hari ini? Tapi gejala fundamentalisme agama (Islam), juga tak penah padam. Kenapa?

Secara psikologis, mereka justru merasa semakin terdesak. Gempuran kebudayaan Barat Modern yang dalam imajinasi mereka begitu mengancam, telah memaksa otot-otot mekanisme pertahanan dirinya mengencang. Hingga berujung pada aksi perlawanan. Dan itulah yang terlihat di medan sosial. Muncul para aktivis dan gerakan-gerakan purifikasi Islam. Secara wacana mereka berusaha merebut dan menguasai wacana publik bahwa Islam adalah solusi dari kekacauan hidup dari segala lini. Dan secara aksi, mereka sibuk membatasi dan merongrong berbagai aktivitas sosial. Sebutlah misalnya praktik-praktik bisnis perjudian, pelacuran dan kehidupan bebas tanpa sandaran nilai-nilai Keislaman yang mereka yakini.

Menurut saya yang terpenting adalah cuci otak.
Membakar cara berpikir. Menjungkirbalikan paradigmanya.
Bahwa Islam bukanlah sebuah obat mujarab dalam hidup.
Tapi adalah salah satu alternatif pilihan pribadi yang bersifat psiklogis.
Bukan solusi praktis empirik. Sehingga sikap intoleran, sikap merasa benar sendiri dan reaktif menjadi tidak ada gunanya dalam kehidupan sosial.

Menurut saya membangun kesadaran atau paradigma berpikir tidak bisa dilakukan dengan gerakan. Tapi adalah dengan studi. Dengan membentuk iklim dialogis. Melalui diskusi. Melalui sharing komunitas. Semakin banyak ruang-ruang dialog, wadah-wadah diskusi, maka cara berpikir yang “Islam sentris” itu juga akan bisa ditendang sedikit demi sedikit dari waktu ke waktu.

Mengharap perubahan yang revolusioner pada cara berpikir, bagi saya hanya bualan dan angan-angan yang tidak realistis. Karena soal kesadaran, soal paradigma berpikir, bukan seperti menukar sepatu lama dengan sepatu baru. Tapi adalah mirip dengan mencongkel lapisan bebatuan yang sudah mengeras. Meminjam istilah Foucalt, merubah paradigma berpikir umat Islam Fundamentalis, mirip dengan kegiatan menambang lapisan geologis. Yang akan dibongkar, adalah lapisan bawah tanah. Endapan keyakinan yang sudah mengeras di lapisan alam bawah sadar, yang sudah menjadi darah dagingnya. Yang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Yang sudah refleks emosional. Itu sebabnya, asal Islam dikritik, telinga umat Islam langsung memerah, jenggor terbakar, nafas berpacu dan seruan Allahu Akbar langsung berkumandang. 



Tuesday, 21 February 2012

Tan Malaka Dan Atheis

Beberapa waktu yang lalu, masyarakat Kabupaten di Kabupaten Dharmasraya khususnya, dan masyarakat Sumatera Barat pada umumnya, lebih luas lagi masyarakat Minang, dikejutkan oleh ulah Alexander Aan. Masyarakat terkejut ulah Aan, sebab secara terbuka, di akun facebook-nya, ia mengaku sebagai seorang ateis. Masyarakat terkejut ulah Aan sebab ia melakukan hal yang demikian di lingkungan yang selama ini terkenal dengan kuatnya masyarakat memegang nilai-nilai agama.

Aan sebagaimana masyarakat Minang lainnya, sebenarnya dari kecil tidak berbeda dengan masyarakat Minang lainnya, yakni rajin pergi ke surau untuk sholat, mengaji, dan belajar agama Islam, yang sudah menjadi budaya masyarakat Minang sejak gerakan pembaruan yang dilakukan oleh Imam Bonjol. Namun karena mungkin nilai-nilai agama yang dianutnya di tengah masyarakat tidak sesuai dengan realita yang dibayangkan oleh Aan, di mana agama tidak bisa menyelesaikan masalah sosial, mengakhiri kezaliman, maka ia menyatakan dirinya sebagai ateis.

Apa yang dilakukan oleh Aan mungkin satu dan dua dari jutaan orang Minang yang melakukan demikian. Apa yang dikatakan Aan mengingatkan kita kepada apa yang pernah dikatakan oleh orang Minang lainnya, yakni Tan Malaka. Saat pidato di Kongres Komunis Internasional IV, di Moscow, Rusia, 1922, Tan Malaka mengatakan, Ketika menghadap Tuhan saya seorang muslim, tapi manakala berhadapan dengan manusia saya bukan muslim.
Apa yang dikatakan Tan Malaka bila diucapkan saat ini mungkin menimbulkan kehebohan seperti dalam kasus Aan. Tan Malaka mengatakan demikian tentu ada sebabnya, bisa jadi ia terpengaruh ide-ide sosialisme dan komunisme yang dirasa bisa memecahkan masalah sosial dan mengakhiri kezaliman, di mana ideologi itu ia serap semenjak sekolah di Belanda. Ia sama seperti Aan, melihat realitas di masyarakat yang penuh kezaliman, terutama kepada kaum buruh dan tani.

Menjadi pertanyaan lagi mengapa Tan Malaka berkata demikian, padahal kalau kita lihat masa kecilnya, kehidupan Tan Malaka penuh dengan nilai-nilai religiusitas. Ia lahir di Surau Jami. Menjadi kebiasaan selepas magrib ia selalu mengaji di Surau Jami, selepas mengaji ia tidak pulang ke rumah namun tetap tidur di surau itu. Sebagai budaya Minang, anak-anak laki-laki pantang tidur di rumah. Di surau itulah tempatnya menempa diri sebagai laki-laki Minang. Sebagai anak laki-laki, Tan terkenal sebagai seorang pemberani, bandel, dan nekat, tapi tak pernah meninggalkan sembahyang dan hafal Quran.

Semasa Tan Malaka remaja, baik saat di Padang Gadang dan ketika sekolah di Kweekschool di Fort de Kock (Bukit Tinggi), di Sumatra Barat marak dengan gerakan pembaruan Islam yang dilakukan oleh Gerakan Kaum Paderi (Kaum Ulama).

Sebuah sumber yang saya temukan di sebuah web memaparkan bahwa pada tahun 1908, Inyik Djambek, salah seorang ulama besar Minang, kembali dari belajar agama di Mekkah dan selanjutnya di Bukit Tinggi mendirikan sebuah surau di Tangah Sawah. Di surau—yang akhirnya surau itu bernama Surau Inyik Djambek—, ia mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji dengan cara ber-tabligh. Inyik Djambek berkesimpulan bahwa ajaran agama Islam itu sebaiknya disampaikan melalui tabligh dan ceramah-ceramah yang dihadiri oleh masyarakat banyak.

Apa yang dilakukan itu mendapat simpati dari tokoh-tokoh ninik mamak dan kalangan guru Kweekschool (G. H. Horensma adalah salah satu guru Kweekschool di masa itu). Inyik Djambek mendapat simpati dari mereka sebab Inyik Djambek seorang pluralis. Surau itu dijadikan tempat pertemuan bagi organisasi-organisasi Islam. Dia juga sering mengadakan dialog dengan orang non Islam dan orang Cina. Sifatnya bertambah popular ketika ia tetap bersahabat dengan orang yang tidak menyetujui fahamnya.

Tan Malaka yang mulai sekolah di Kweekschool di Bukit Tinggi pada tahun 1907 hingga 1913 tentu bersentuhan dengan gerakan pembaruan Inyik Djambek. Sebab Surau Inyik Djambek saat itu menjadi pusat pembaruan keagamaan, yang pasti menjadi pusat perhatian masyarakat di Sumatera Barat.

Dari persentuhan Tan Malaka dengan gerakan pembaruan itu adalah, terlihat dari buku-buku karya Tan seperti Madilog (1948), Gerpolek (1948), dan Massa Actie (1926). Dalam Massa Actie, Tan membongkar kultur takhayul yang mendarah daging di bangsa Indonesia. Untuk itu perlu dilakukan revolusi alam pikiran masyarakat dari logika mistika atau logika supranatural ke cara berpikir rasional yang mengandalkan bukti.

Dari sini terlihat meski Tan Malaka terpengaruh sangat kuat dengan ideologi komunisme dan sosialisme, namun ia bisa mensintesiskan antara komunisme-sosialisme dengan agama yang dianutnya.

Tan Malaka mampu mensintesiskan komunisme-sosialisme dengan agama yang dianutnya tidak hanya secara pemikiran dan ideologi, namun juga secara politik. Saat Kongres Komunisme Internasional IV, Tan Malaka dalam pidato menyampaikan gagasan revolusioner bersama antara komunisme dan Islam. Menurut Tan Malaka, komunis tak boleh mengabaikan kenyataan bahwa saat itu ada 250 juta Muslim di dunia. Pan-islamisme sedang berjuang melawan imperialism-perjuangan yang sama dengan gerakan komunisme.

Namun lain dari Tan Malaka, sebagaimana diberitakan di Majalah Tempo, 15 April 2012, ia (Aan) tidak mampu menemukan jalan tengah di antara paham yang diyakini dengan agama yang dianut. Meski ia sudah ke sana-sini mencari jawaban tentang agama, lewat berbagai pengajian, ia selalu gagal. Sehingga ia menyimpulkan, saya mati-matian mendamaikan realitas dengan agama, tapi tak bisa.

Memang antara Tan Malaka dan Aan berbeda. Meski faktor yang menyebabkan mereka menjadi komunis, sosialisme, dan ateis, sama yakni adanya kezaliman di sekitarnya.