Secara gambang Insya Allah artinya adalah izin Allah, atas izin Allah, kalau Allah mengizinkan, dan sejenisnya.
Umat Islam sangat dianjurkan mengucapkan kalimat ini. Karena segala sesuatu,tidak akan terjadi di alam dan kehidupan ini tanpa kehendak Tuhan. Tanpa keinginan Tuhan. Tanpa seizin Tuhan. Karena itu mengatakan sesuatu, apalagi ketika berjanji dengan seseorang tanpa mengucapkan kalimat ini, dikatakan sikap yang takbur. Bahkan lebih jauh bisa dinilai sebagai sombong.
Umat Islam sangat dianjurkan mengucapkan kalimat ini. Karena segala sesuatu,tidak akan terjadi di alam dan kehidupan ini tanpa kehendak Tuhan. Tanpa keinginan Tuhan. Tanpa seizin Tuhan. Karena itu mengatakan sesuatu, apalagi ketika berjanji dengan seseorang tanpa mengucapkan kalimat ini, dikatakan sikap yang takbur. Bahkan lebih jauh bisa dinilai sebagai sombong.
Contoh:
“Okey nanti saya akan datang ke rumahmu.”
Nah, pernyataan ini tergolong takbur. Kenapa dia bisa mengatkan dengan tegas bahwa dia akan datang ke rumah temannya dengan pasti? Seolah-olah tidak akan terjadi halangan dari rencananya? Padahal dalam perjalanan waktu,segala sesuatu bisa saja terjadi. Misalnya tiba-tiba hari hujan,atau ia tabrakan,mendadak jatuh sakit dan sebagainya. Akibatnya tentu dia tidak jadi bisa berkunjung ke rumah temannya. Tapi dengan mengucapkan: “Insya Allah saya akan datang nanti ke rumahmu” berarti dia sudah menyandarkan rencananya kepada keputusan Allah. Artinya kalau Allah mengizinkan. Dengan kata lain, manusia punya rencana, tapi Tuhan yang memutuskan.
Nah, begitulah makna Insya Allah dalam keyakinan umat Islam. Dan ini jelas-jelas sebuah dogma, sebuah kepercayaan. Atau dalam kaca mata Filsafat, keyakinan seperti itu adalah sebuah postulat. Sebuah pengandaian. Dimana segala penafsiran,sepanjang apapun, berakar pada postulatnya,yatiu postulat bahwa Tuhan itu ada. Postulat bahwa Tuhan itu maha Berkehendak. Maha Berkuasa. Jika postulat ini ditolak, maka gugurlah semua makna yang dibangunnya.
Pemaknaan seperti ini baru menyentuh sisi emosional keagamaan bagi saya. Belum memuaskan secara penalaran. Karena itu saya mencoba menafsirkan Isnya Allah ini dari sisi lain, yaitu meminjam analisis Positivisme Logis-nya Alfred J. Ayer, seorang Filsuf Jerman Abad -20.
Inti dari pandangan Ayer adalah verifikasi. Yaitu pembuktian. Jika saya mengatakan bahwa saya nanti akan pergi ke pasar, maka ucapan ini tidak bermakna. Karena ucapan itu tidak bisa dibuktikan. Karena peristiwa itu belum terjadi saat saya mengucapkannya. Jika saya katakan ada postingan saya yang terbit di Belajar Saraf, maka ucapan ini disebut Ayer sudah bermakna. Karena sekarang juga bisa dibuktikan bahwa tulisan saya memang ada di blog ini. Saya atau anda tinggal mengkliknyai. Itulah verifikasi.
Tapi jika saya katakan minggu depan saya akan ke Perancis, maka ucapan ini tidak bermakna. Karena ucapan ini tudak bisa diverifikasi saat ini. Toh peristiwanya belum terjadi. Bagaimana mungkin bisa dibuktikan. Lalu jika dinyatakan: “Tetap bisa kok dibuktikan? Tunggu saja bila waktunya sudah tiba? Terbukti sendiri kan?” Ya tapi mengukur bermakna tidaknya sebuah ucapan adalah di saat saya mengucapkannya. Masih dalam rentang waktu yang sama. Tapi kalalu saya katakan bahwa saya saat ini saya sedang menulis, maka ucapan saya ini bermakna. Karena memang terbukti saya sedang menulis.
Nah, sehubungan dengan itu, sebagai tambahan, menyatakan besok matahari akan terbit misalnya adalah pernyataan yang tidak bermakna. Meskipun di masa lalu matahari selalu terbit, tapi siapa yang bisa menjamin bahwa esok matahari masih akan terbit? Yang bisa dikatakan hanyalah matahari saat ini sedang terbit. Atau saat ini matahari tidak terlihat. Karena pernyataan inilah yang bisa dibuktikan. Itulah prinsip verifikasi positivisme logis yang digagas Ayer.
Sebuah pernyataan hanya bermakna bila bisa dibuktikan secara empirik. Bila bisa diverifikasi dalam kondisi kekinian. Dalam bentangan waktu yang bisa dijangkau oleh manusia. Jika saya nyatakan bahwa besok saya akan ke Surabaya, maka ucapan ini tidak bermakna. Jangankan besok, satu jam lagi saya akan makan, juga tidak bermakna. Karena siapa yang bisa menjamin bahwa satu jam lagi saya akan bisa makan. Pernyataan itu baru dalam bentuk imajinasi. Dan imajinasi jelas bukanlah kalimat yang bermakna dalam pandangan postivisme logis.
Jadi yang palilng mungkin saya katakan hanyalah apa yang terjadi dan apa yang saya alami saat ini dan di sini. Misalnya saya katakan saat ini saya masih hidup. Saat ini saya sedang bernafas. Saat ini saya sedang gila, dan seterusnya sepanjang dalam lingkaran waktu saat ini. Tapi jika sebentar lagi? Saya tidak bisa menjamin.
Meskipun saya tidak sejalan bila gagasan Ayer ini digeneralisir untuk semua hal, tapi untuk memaknai kalimat Insya Allah ,Filsafat Ayer ini sangat berjasa bagi saya. Benar-benar menguatkan makna Insya Allah dari sisi penalaran bagi saya. Jadi jika saya katakan Insya Allah, maka dalam kesadaran saya, saya tidak hanya memahaminya secara dogmatis, tapi memang sudah terbukti bagi saya bahwa saya memang tidak bisa menjamin apa yang akan terjadi di luar lingkaran waktu yang saya alami.
Kenapa untuk memhami Insya Allah saja kok rumit-rumit amat sih. Bilang saja hanya Allah yang bisa menjamin apa yang akan terjadi,selesai kan. Nggak perlu pusing-pusing toh.
Ya itu sah-sah saja dan hak siapa saja. Tapi bagi saya pribadi klaim dogmatis seperti itu hanya memuaskan sisi emosional saya. Tapi sisi penalaran? Tidak. Nah di sinilah sumbangan Ayer bagi saya. Kalimat Insya Alalh itu saya terima secara iman dan penalaran, bahkan juga empiris. Bahwa kenyataannya, segala sesuatunya terlihat oleh saya tidak terjadi tanpa seizin Tuhan. Itu sebabnya saya tidak bisa takbur dengan segala pernyataan yang bersifat mutlak. Segalanya hanya dalam kemungkinan. Relatif. Karena memang saya tidak bisa mengetahui dan melampaui kesadaran saya dalam ruang dan waktu yang melingkupi diri saya saat ini. Saya tidak bisa melampaui kedisinian dan kekinian saya.
No comments:
Post a Comment