Sejak remaja, mungkin sejak aku duduk di kelas 3 SMP, aku punya keinginan yang sangat kuat untuk menikmati tubuh wanita. Namun waktu itu aku tidak punya keberanian untuk melakukan atau bahkan sekedar memulai pembicaraan, maklum pengalaman masih nol besar.
Ada beberapa tetanggaku yang sering menjadi fantasiku untuk melepaskan hasrat seksualku. Statusnya tidak menjadi masalah, tapi yang jelas seleraku memang perempuan yang usianya di atasku. Salah satunya adalah Hesti, seorang gadis yang usianya enam tahun di atasku. Rumahnya berselang lima rumah dari rumahku.
Kabar angin yang beredar mengatakan bahwa ia sudah tidak perawan lagi. Kupikir mungkin saja, karena ia sangat sering keluar malam dengan temannya yang berdandan menor. Mungkin kalau istilah sekarang ia boleh disebut penggemar dugem.
Pada waktu itu di kampungku masih ada beberapa keluarga yang menggunakan kayu bakar untuk memasak. Kadang Hesti membantu tetangga sebelah untuk membelah kayu bakar. Ia paling sering mengenakan daster longgar, sehingga kalau sedang membungkuk membelah kayu bakar buah dadanya kelihatan menggantung seakan mau jatuh. Kalau sudah begitu aku mulai mendekat dan berlagak seolah ikut membantu merapikan kayu bakar. Namun begitu aku hanya berbicara dengannya seperlunya saja, tidak berani atau tidak kepikiran untuk menggoda lebih jauh.
Ketika aku duduk di SMA, Hesti pergi ke Jakarta dan akupun segera melupakannya. Sampai aku lulus kuliahpun boleh dibilang kami tidak pernah bertemu lagi. Paling kalau lebaran hanya ketemu di jalan sambil bersalaman.
*****
Aku mengambil cuti dan pulang kampung untuk menyelesaikan beberapa urusan. Tiga hari aku di kampung dan urusanpun selesai. Rasanya jadi asing juga di kampung. Teman sebaya sudah tidak ada lagi, semua pergi merantau. Anak-anak remaja yang ada sekarang aku tidak banyak mengenalnya karena dulu mereka masih kecil-kecil.
Aku naik bus AC yang akan berangkat ke Jakarta. Penumpang masih terlihat sepi, bus hanya terisi dua pertiganya saja. Mungkin karena bukan musim liburan. Aku duduk menyandar di jendela dan memperhatikan ke luar.
Tiba-tiba ada seorang perempuan yang meletakkan tas ke bagasi di atasku dibantu oleh kernet bus. Kuperhatikan sekilas tidak ada yang istimewa. Perempuan itu mengenakan celana hitam dengan kaus pink longgar. Jaketnya diikatkan di pinggangnya. Namun ketika ia mengatur tasnya di bagasi, otomatis dadanya kelihatan lebih membusung. Hmmh, mata nakalku mulai menikmati pemandangan ini.
"Maaf Pak, boleh saya yang duduk di dekat jendela?" tanya perempuan itu ramah.
"Oh.. Silakan saja. Saya nggak masalah duduk di mana saja kok," sahutku cepat sambil berdiri dan mempersilakannya duduk di dekat jendela.
Lima belas menit kemudian bus diberangkatkan.
"Kemana Mbak?" tanyaku mengawali pembicaraan.
"Ke Jakarta, Mas sendiri ke mana?"
"Sama, ke Jakarta juga. Jakartanya di mana Mbak?".
"Di Sawangan, Depok".
Lumayan jauh juga dari Pulogadung. Bus yang kami naiki hanya sampai di Pulogadung. Kuhitung-hitung kalau perjalanan lancar kami bisa sampai di Jakarta jam 02.00. Terlalu malam untuk seorang perempuan.
"Emang di sini tinggal di mana, Mbak?"
Ia menyebutkan nama kampungnya. Aku tercekat, lho itu kan kampungku juga. Dengan mencuri-curi kuperhatikan perempuan ini lebih teliti. Mukanya sih mirip Hesti, tetanggaku.
"Mas tinggal di mana?"
Kusebutkan sebuah nama kampung, asal saja. Aku belum ingin dikenalnya.
"Oh ya, saya Anto," kataku sambil mengulurkan tangan. Aku tidak menyembunyikan namaku, karena toh banyak orang lain yang namanya Anto.
"Hestini, boleh panggil Tini saja".
Akhirnya kupastikan bahwa perempuan di sampingku ini adalah Hesti tetanggaku.
"Mbak Hesti, eh sorry Tini. Kok sendirian aja?"
Ia mengamatiku sekilas, mungkin terkejut juga dipangil dengan nama Hesti.
"Iya, suami lagi sibuk, nggak bisa ambil cuti. Ini tadi habis nengok anak yang dititip sama neneknya".
Sekitar jam tujuh malam bus sampai di daerah perbatasan Tegal-Cirebon dan berhenti di sebuah rumah makan. Aku turun dan tujuan pertamaku ke toilet untuk buang air kecil. Kulihat Hesti juga sedang antre di toilet wanita. Kutunggu dia dan kuajak untuk makan. Kami makan sedikit saja untuk sekedar mengisi perut agar tidak masuk angin.
Tak lama kemudian bus pun segera berangkat kembali menuju ke Jakarta. Lampu di dalam bus dimatikan, tinggal lampu kecil di dekat toilet saja yang menyala redup. Hesti menggeliat, menggoyangkan badan dan mengenakan jaketnya.
"Dingin ya Mbak Hes.. Eh sorry, bagaimana kalau kupanggil Hesti saja".
"Terserah Mas saja.."
Kami berdiam diri beberapa saat.
"Sampai Pulogadung jam berapa ya Mas?"
"Kalau lancar jam satu atau jam dua dinihari sudah masuk".
"Aduhh, gimana ya. Terlalu malam kalau harus nyambung lagi ke Sawangan".
"Tunggu saja di terminal sampai agak terang barulah berangkat. Kalau masih gelap resiko lho Mbak," kataku menenangkan.
Penumpang yang lain sudah tertidur. Hesti menguap lebar dan menutup mulut dengan tangannya.
"Ngantuk?" tanyaku.
"He.. Eh," jawabnya singkat.
"Silakan tidur saja," kataku sambil menggeser tubuhku agar ia memperoleh tempat yang lebih lebar.
Ia pun kemudian tidur dengan kepala menempel di jendela. Karena guncangan-guncangan di kendaraan, maka kepalanya bergeser dan menyender di bahuku. Aku mulai berpikir dan mengingat masa lalu ketika kuintip buah dadanya dari balik dasternya yang longgar. Kelihatan tidurnya lelap sekali, mungkin kecapekan.
Tangannya yang tadinya disilangkan di depan dadanya mulai lepas dan telapak tangannya menyentuh pahaku. Aliran listrik di tubuhku yang tadinya lemah mulai menguat. Tangannya kuangkat pelan sehingga akhirnya kubuat menggayut di lenganku. Ia masih diam saja dan aku pura-pura juga tidur. Namun pikiran-pikiran lain terus menggangguku.
Hesti menggeliat dan membuka matanya.
"Hh.. Sampai di mana kita?"
"Baru masuk Sukamandi, tidur saja lagi".
Ia menggerakkan tangannya dan kemudian baru tersadar kalau tangannya dalam posisi memeluk lenganku.
"Sorry.. Nggak sengaja, habis tadi ketiduran. Tapi enak juga tidur sambil memeluk lengan".
Ia menarik lengannya. Aku hanya tersenyum saja.
"Boleh kok memeluk lenganku lagi kalau mau," kataku.
"Ihh maunya deh," katanya sambil mencubit pahaku. Namun kemudian tangannya disusupkan ke bawah lenganku dan kembali ia memeluk lenganku.
"Sebentar.. Sebentar, gini saja supaya lebih nyaman," kataku. Kulepaskan lengan kiriku dari pelukannya dan kulingkarkan ke belakang bahunya. Ia tersenyum dan mengusap pipiku dengan jarinya. Jaketnya dilepas dan diletakkan di pangkuannya.
Kini kepalanya menyandar di dadaku. Kuusap-usap bahunya dengan lembut. Ia mendesah lirih dan napasnya terdengar mulai berat dan tertahan. Aku tahu Hesti sudah merasa aman dan nyaman di pelukanku. Tangan kiriku mulai menyusup dari bawah lengan kirinya dan ujung jariku sudah menyentuh pangkal buah dadanya. Ia sedikit mengangkat tangan kirinya memberikan kesempatan kepadaku untuk berbuat lebih jauh lagi. Kepalanya agak mendongak sehingga napasnya hangat menyapu leherku.
Tangan kiriku mulai membuat gerakan berputar di pangkal buah dada kirinya dan terus menuju ke arah putingnya. Jaketnya digeser ke atas pahaku dan tangannya mulai mengusap-usap bagian dalam pahaku, kadang penisku juga diusap dan diremas dari luar celanaku. Dari Ciasem sampai masuk ke terminal Pulogadung kami terus melakukan rabaan dan usapan. Dinginnya AC di dalam bus sudah tidak terasa lagi.
Sebelum masuk ke Pulogadung aku sudah melepaskan pelukanku dan merapikan pakaian. Tak lama lampu dinyalakan dan bus segera masuk ke terminal. Turun dari bus kami disambut dengan hujan rintik-rintik. Kami berteduh di bawah shelter. Kupeluk lagi tubuh Hesti.
"Gimana Hes, kita mau tunggu di sini atau.."
"Ngapain hujan-hujanan di sini. Kita tuntaskan saja apa yang tadi sudah kita mulai sampai besok agak siangan," ia menukasku dan kemudian mencubit pinggangku. Kutatap matanya untuk meyakinkan diriku.
"Tidak usah malu, aku tahu kamu juga menginginkannya kan?" ia berbisik di telingaku.
Kami segera naik ke sebuah taksi dan meluncur ke bilangan Kampung Melayu untuk menyelesaikan urusan kami.
Tak lama kemudian kami sudah berada di kamar hotel. Mukaku terasa kotor dan dengan bercelana dalam saja aku masuk ke kamar mandi untuk sekedar cuci muka dan menggosok gigi. Tidak afdhal rasanya bercinta dengan mulut yang kurang bersih. Aku sudah berpikir mau mandi tetapi Hesti menyusulku masuk ke kamar mandi dan memelukku dari belakang. Tangannya mengusap dadaku dan kepalanya dan pipinya ditempelkan di punggungku. Sebentar kemudian ia melepaskan pelukannya.
"Cuci penismu dengan sabun sampai bersih dan pinjam sikatmu To," katanya.
Ha? Kalau dipikir pinjam meminjam sikat gigi tidak hygienis, namun sebentar lagi toh kami juga akan bertukar liur. Jadi apa bedanya? Kuberikan sikat gigiku dan iapun menggosok giginya. Kalau soal cuci penis, tentu saja itu sebuah ritual wajib. Aku keluar dari kamar mandi dan berbaring di ranjang. Tak lama Hestipun menyusulku dan berbaring di sebelahku.
Kupeluk dia dan dengan cepat kucium bibirnya. Iapun membalasku dengan penuh gairah. Kuremas dadanya dan kausnya kusingkapkan sampai ke atas buah dadanya. Kubuka seluruh pakaian Hesti dan kini tinggal pakaian dalam saja yang melekat di tubuh kami. Kupandangi sejenak wanita di sampingku ini. Kulitnya tidak begitu putih dengan dada yang sedang tapi masih terlihat kencang.
Dalam keremangan kamar kulihat Hesti menggerak-gerakkan bibirnya untuk menggodaku. Aku mulai mendekatkan bibirku pada bibirnya. Sedikit bau keringat di tubuh kami memancarkan daya rangsang tersediri.
Diterkamnya tubuhku dan ia naik di atas tubuhku. Kemudian dengan cepat kulumat bibir Hesti dan ia mulai terbawa permainan bibirku dan segera membalas lumatanku dengan penuh gairah. Kemudian tanganku mulai bermain di dadanya, menyusup di balik bra-nya. Buah dadanya masih kencang dan bulat, setelah itu langsung kuremas dan kupilin putingnya. Nafas kami mulai berkejaran.
"Eehh..,. Ouhh." Lehernya kukecup dan kujilat.
Tanganku segera bergerak ke punggungnya dan membuka kancing bra-nya. Dengan usapan lembut di bahunya, tanganku dengan pelan melepas tali branya. Buah dadanya yang bulat segera mencuat keluar. Putingnya kecil berwarna coklat muda dan agak keras.
Bersambung . . . .
No comments:
Post a Comment